Muh. Khoirunniam
Universitas
Islam Sultan Agung
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kematangan beragama dan kepatuhan (obedience)
dengan kebermaknaan hidup pada santri remaja di Pondok Pesantren Futuhiyyah
Mranggen Demak. Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan antara kematangan beragama dan kepatuhan (obedience) dengan kebermaknaan
hidup, ada hubungan
positif antara kematangan beragama dengan kebermaknaan
hidup dan ada hubungan
positif antara kepatuhan (obedience) dengan kebermaknaan hidup.Subjek penelitian (N=45) adalah santri remaja minimal 2 tahun
dipesantren, berdomisili di pesantren Futuhiyyah, yang diperoleh
melalui purpossive sampling.
Hasil penelitian diperoleh antara kematangan beragama dan kepatuhan (obedience)
dengan kebermaknaan menunjukkan
nilai R = 0,613 dan Fhitung = 12,611 dengan p =
0,000 (p<0,01). Korelasi parsial antara variabel kematangan beragama dengan
kebermaknaan hidup adalah ry1-2 = 0,294 dengan p = 0,026 (p<0,05)
dan antara variabel kepatuhan dengan kebermaknaan hidup adalah ry2-1 = 0,459 dengan p = 0,001 (p<0,05).
Hasil ini menunjukkan adanya hubungan antara kematangan beragama dan kepatuhan
(obedience) dengan kebermaknaan hidup, kematangan beragama memiliki
hubungan positif yang signifikan dengan kebermaknaan
hidup dan kepatuhan
(obedience) memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kebermaknaan hidup.
Kata kunci :Kematangan Beragama, Kepatuhan
(obedience), Kebermaknaan Hidup, dan Santri Remaja
Pendahuluan
Kualitas
insani, arti kehidupan (makna hidup) begitu diperhatikan di dalam agama Islam
secara komprehensif, baik kulitas hidup objektif maupun subjektif. Termasuk contoh
perhatian Islam terhadap kualitas hidup objektis adalah perintah Allah untuk
beristirahat menjaga vitalitas sebagaimana termkatub dalam Surat Al-Mu’min:
“Allah-lah
yang telah menjadikan malam untuk kalian supaya kalian beristirahat kepada-Nya,
dan (menjadikan) siang terang benderang. Sesungguhnya Allah itu benar-benar
pemmilik karunia atas manusia, tetapi kebanyakan orang tidak bersyukur” (QS. Almu’min:
61).
Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah:
”Dan sesungguhnya Kami akan memberi cobaan kepada kalian dengan sesuatu
berupa kekuatan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
sampaikanlah kabar gembira pada orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah: 155).
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk
menjaga kualitas hidup objektif, dengan menjaga vitalitas tubuh, bekerja,
berkarya dan sikap sabar terhadap cobaan untuk mencapai makna hidup.
Perhatian terhadap kualitas hidup subjektif juga diajarkan oleh Nabi dalam
doanya, ”Wahai tuhan yang membolak-balikkan hati tetapkanlah hatiku atas agama-Mu.
Ya-Allah ilhamkanlah petunujk kebenaranku, dan jauhkan aku dari kejahatan
diriku” (Diponegoro, 2005, hlm. 107).
Berdasarkan beberapa kutipan di atas dapat dikatakan bahwa nilai ajaran
Islam merupakan petunjuk untuk berperilaku positif, berbudi pekerti luhur, melalui
kualitas kehidupan beragama yang dijalininya, serta dengan menjalankan
nilai-nilai luhur agama.
Pada penelitian ini, dinamika kualitas hidup diuji pada subjek santri Pondok
Pesantren. Pemlihan santri Pondok Pesantren sebagai subjek berdasarkan pada
alasan bahwa santri merupakan bagian dari generasi muda yang sangat potensial
mampu melakukan perubahan-perubahan sosial dalam kehidupan bermasyarakat
(Hanurawan, 2005, hlm. 120), termasuk dalam peningkatan kualitas hidup
(pemaknaan hidup).
Pesantren adalah fenomena sosiokultural yang menarik. Pada tataran
historis, Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua khas Indonesia, yang
eksistensinya telah teruji oleh sejarah dan berlangsung hingga kini. Selain
dianngap sebagai lembaga Islam tradisional Pesantren merupakan suatu lembaga yang
dianggap memiliki pola khas.
Sebagai lembaga keagaman
Islam yang telah lama berkembang di Indonesia Pondok Pesantren merupakan aset
penting bagi pengembangan sumber daya manusia yang mengacu pada konsep mausia
Indonesia seutuhnya. Lembaga pendidikan Pesantren secara umum memiliki
kedudukan yang cukup penting dalam sistem pendidikan nasional, apalagi jika mampu
menerjemahkan dan menerapkan pemikiran “Al-muhafazhah ‘ala ‘al-qadim
ash-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (memelihara nilai-nilai
budaya klasik yang baik, dan mengambil nilai-nilai budaya baru yang dianggap
lebih bermanfaat) secara tepat dan benar.
Menurut Siraj (Hartono,
2004, hlm. 69) saat ini,
banyak orangtua perkotaan menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren, karena
pendidikan umum telah menjadi bagian standar dari penyesuaian pesantren
terhadap modernitas. Pesantren dianggap juga sebagai lembaga pendidikan yang
relatif aman bagi anak-anak mereka yang berusia remaja dari pengaruh-pengaruh
negative. Orangtua menyadari bahwa mendidik anak usia remaja sangat sulit
karena pada dasarnya usia tersebut anak biasanya berani “melawan” orangtuanya,
dan anak sangat mudah terkena pengaruh orang lain. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan yang tepat adalah lembaga yang dapat melindungi anak-anak mereka
dari pengaruh-pengaruh negatif dan yang menawarkan penguasaan ilmu pengetahuan
dan agama.
Berdasar pemikiran
tentang posisi strategis Pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus da’wah
yang mampu membawa perubahan-perubahan sosial, termasuk peningkatan
kualitas hidup maka penulis memandang adanya arti penting terhadap upaya-upaya
untuk mengungkap pemahaman tentang peningkatan kualitas pemaknaan hidup para
santri.
Dalam konteks pengembangan kualitas hidup santri, pendidikan Pondok
Pesantren secara normatif berbasis pada nilai-nilai ajaran Islam, mengajarkan
kepada para santrinya untuk mengembangkan nilai-nilai luhur agama Islam melalui
pemahaman, dan penghayatan serta peng-aplikasian nilai-nilai luhur agama Islam dalam
menjalankan rutinitas kehidupan sehari-hari.
Pola pendidikan Pondok Pesantren memposisikan santri sebagai murid, abdi
dan kawula. Menurut Zakiah (2004, hlm. 34) pola ini dikenal dengan terminologi talmadzah
yang menggambarkan dominasi aktivitas guru dan tuntutan santri untuk bersikap
pasif. Menurut Syarifuddin hal tersebut didasarkan dalam kitab Ta’limul
Muta’allim, salah satu referensi kitab kuning yang sering dipakai
dipesantren, karya Al-Zarnuji yang dinisbatkan kepada Sayyidina ’Ali: ”Aku
adalah kawula orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepadaku, apabila mau ia
boleh menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku” (Zakiah, 2004, hlm.
2004).
Salah satu karakteristik
budaya pesantren adalah ketaatan santri pada Kiai dalam pola hubungan guru dan
murid. Berdasarkan interview yang dilakukan dengan beberapa santri di Pesantren
Futuhiyyah Mranggen, pada 30 agustus 2008, berkaitan dengan tujuan hidup mereka
yang dijadikan sebagai arahan untuk beraktivitas, yang berhubungan dengan
kepatuhan mereka terhadap Kiai, diketahui bahwa terdapat anggapan yang tidak
jauh berbeda.
Santri berinisial LK menganggap Kiai sebagai
figur yang patut diteladani dan dipatuhi. Kiai merupakan figur yang dianggap
mampu memberikan arahan dan mampu mengetahui apa yang terbaik untuk mereka
dengan kemampuan spiritual yang dimilikinya. Mereka merasa langkah hidupnya
lebih mantap, berarti dan bahkan menyimpan makna tertesendiri dengan arahan
yang diberikan oleh Kiai. Santri berinisial EHS lebih memilih kepentingan Kiai
dan rela meninggalkan keinginan pribadinya, karena berkeyakinan bahwa apa yang
ia lakukan akan memberikan berkah untuk kebahagiaan hidup yang dilakoni, serta
menganggap Kiai sebagai sosok yang mampu mengilhami tujuan hidupnya.
Selanjutnya
berdasarkan interview lanjutan yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 2010
dengan beberapa santri Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen tentang batasan
kepatuhan santri kepada Kiai dan landasan kepatuhan santri diperoleh kesimpulan
bahwa santri cenderung patuh terhadap semua perintah Kiai. Ketaatan mereka
didasarkan atas beberapa pertimbangan diantaranya: tabiat santri kepada Kia (murid
dengan guru), ta’dlim (penghormatan) terhadap ilmu, percaya akan adanya barokah
(kebagusan), merupakan penghargaan atau penghormatan ketika diperintah oleh
Kiai, adanya arti khusus ketika mampu dekat dan kenal dengan Kiai.
Menurut Faturochman (2004, hlm. 35) ketaatan santri dengan kiai pada budaya
kehidupan santri nyaris sakral. Hubungan ini dilatarbelakangi oleh beberapa
pertimbangan: nilai ketaatan dalam rangka ibadah, nilai keikhlasan ajaran dalam
kitab Ta’limul Muta’allim, dan persepsi santri terhadap Kiai.
Berdasarkan suatu pemahaman bahwa santri yang tinggal dan belajar
dipesantren banyak mempelajari nilai-nilai agama Islam tentang pendalaman,
pemahaman, dan penghayatan serta pengaplikasian nilai-nilai luhur agama, maka
dapat dikatakan bahwa sikap keberagamaan mereka cenderung matang. Kehidupan
yang sangat intens di Pondok Pesantren, pada tingkatan tertentu membuat santri
berusaha meniru sikap dan prilaku orang-orang yang dianggap penting dan
berpengaruh terhadap kehidupan mereka, dalam hal ini para Kiai atau para Nyai
melalui proses belajar.
Berdasarkan uraian di
atas, maka penulis tertarik dan ingin mengetahui seberapa besar peranan
kematangan beragama yang dimiliki santri terhadap kebermaknaan hidup mereka,
serta kepatuhan santri terhadap Kiai sebagai teladan dalam menentukan langkah
kehidupan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang maknawi. Hal tersebut di atas menyebabkan
penulis ingin mengetahui hubungan antara kematangan beragama dan kepatuhan (obedience)
santri pada Kiai dengan kebermaknaan hidup santri di Pesantren Futuhiyyah
Mranggen, Demak.
Dasar teori
Kebermaknaan hidup
Anggriany (2006, hlm. 53) mengungkapkan bahwa kebermaknaan hidup sebagai
penghayatan seseorang mengenai kualitas, tujuan, dan harapan dalam hidupnya
agar dapat berarti bagi diri sendiri dan bersama. Menurut Bastaman (2007, hlm.
55) hidup yang bermakna adalah corak kehidupan yang serat dengan kegiatan,
penghayatan, dan pengalaman-pengalaman bermakna, yang apabila hal itu terpenuhi
akan menimbulkan perasaan-perasaan bahagia dalam kehidupan seseorang
Frankl (Anggriany, 2006, hlm. 53) mengungkapkan bahwa kebermaknaan hidup
adalah keadaan yang menunjukkan sejauh mana seseorang telah mengalami dan
menghayati kepentingan keberadaan hidup menurut sudut pandang dirinya sendiri.
Bastaman (Soleh, 2001, hlm. 55) mengatakan bahwa orang yang menghayati hidupnya
sebagai hidup yang bermakna menunjukkan kehidupan yang penuh gairah dan
optimis, hidupnya terarah dan bertujuan, mampu beradaptasi, luwes dalam bergaul
dengan tetap menjaga identitas diri, dan apabila dihadapkan pada suatu
penderitaan akan dihadapinya dengan tabah dan menyadari akan adanya hikmah
dibalik penderitaan.
Frankl (Koeswara, 1992, hlm. 61) menjelaskan bahwa untuk mencapai makna,
individu harus menunjukkan tindakan komitmen yang muncul dari kedalaman dan
pusat kepribadiannya, dan karenanya usahanya itu berakar pada keberadaan
totalnya. Makna hidup ini bermula dari adanya visi kehidupan, harapan dalam
hidup, dan adanya alasan kenapa seseorang harus terus hidup, dengan adanya visi
kehidupan dan harapan hidup itu seseorang akan tangguh dalam menghadapi
kesulitan hidup sebesar apapun. Kebermaknaan ini adalah kekuatan hidup manusia,
yang selalu mendorong seseorang untuk memiliki sebuah komitmen kehidupan.
Berdasarkan hasil temuan yang dilakukan Bastaman (Anggriany, 2006, hlm.
55), komponen kebermaknaan hidup dapat dikategorikan dalam empat dimensi yang
memiliki unsur-unsur tertentu, yaitu: (1). Dimensin personal yaitu pemahaman
diri dan pengubahan sikap. (2). Dimensi sosial: mencakup dukungan sosial,
faktor pemicu kesadaran diri dan model ideal pengarahan diri (3). Spiritual:
menjadikan keimanan sebagai dasar dari kehidupan beragama, dan (4). Dimensi
nilai-nilai: merupakan pencarian makna hidup secara kontemplatif, penemuan
makna hidup, keterikatan diri terhadap makna hidup, kegiatan terarah pada
tujuan, tantangan dan keberhasilan memenuhi makna hidup.
Menurut Frankl (Bastaman dalam Anggriany, 2006, hlm. 54) terdapat tiga
komponen kebermaknaan hidup, dimana filosofi satu dengan lainnya saling
mempengaruhi dan meiliki hubungan erat. Ketiga komponen itu adalah: (1).
Kebebasan berkehendak (freedom of will), adalah kebebasan yang dimiliki
seseorang untuk menentukan sikap dalam hidupnya, menentukan apa yang dianggap
penting dan baik bagi dirinya. Kebebasan yang diimbangi sikap tanggung jawab
agar tidak berkembang menjadi kesewenangan. Bastaman (2007, hlm. 41)
menyebutnya sebagai kebebasan untuk menentukan sikap (freedom to take stand)
terhadap kondisi-kondisi tersebut, baik kondisi lingkungan ataupun kondisi diri
sendiri. Bukan kebebasan dari (freedom from) kondisi-kondisi biologis,
psikologis, dan sosiokultural. (2). Kehendak hidup bermakna (will to meaning),
merupakan hasrat yang memotivasi seseorang untuk bekerja, berkarya dan
melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya dengan tujuan agar hidupnya
berharga dan dihayati secara bermakna. Bastaman (2007, hlm. 43) hasrat hidup
bermakna merupakan motivasi utama pada manusia, dan bukan merupakan suatu yang
khayali serta diada-adakan, melainkan benar-benar suatu fenomena kejiwaan yang
nyata dan dirasakan pentingnya dalam
kehidupan seseorang. (3). Makna hidup (meaning of life), adalah suatu
yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberi nilai khusus bagi
seseorang. Bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini
dirasakan demikian berarti dan berharga.
Bastaman (2007, hlm. 47-49)
mengungkapkan bahwa dalam kehidupan seseorang terdapat tiga bidang kegiatan
yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang
menemukan makna hidup di dalamnya apabila nilai-nilai itu diterapkan dan
dipenuhi. Ketiga nilai tersebut adalah: (1). Creative values (nilai-nilai
kreatif): nilai-nilai kreatif adalah, bagaimana seseorang mampu memberikan
sesuatu yang berharga dan berguna bagi kehidupan, melalui sikap dan komitmen
yang sesungguhnya. (2). Experiential values (nilai-nilai penghayatan):
merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan keyakinan dan penghayatan akan
nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan, serta
cinta kasih. Anggriany (2006, hlm. 55) menjelaskan bahwa nilai-nilai penghayatan
merupakan apa yang diterima oleh individu dari kehidupan melalui interaksinya
dengan manusia dan alam. Nilai ini didapat dari interaksi dan komitmen untuk
berhubungan baik dengan orang lain dan lingkungan sosial. (3). Attitudinal
values (nilai-nilai bersikap): merupakan sikap individu menunjukkan
keberanian dan kemuliaan menghadapi penderitaan, nilai-nilai ini berupa
menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk
penderitaan yang tidak mungkin terelakkan lagi. Sikap menerima
dengan penuh ikhlas dan tabah hal-hal tragis tersebut dapat mengubah pandangan
kita dari yang semula diwarnai penderitaan semata-mata menjadi pandangan yang
mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan itu, sehingga mampu membantu
proses kematangan dan memberi sumbangan bagi kebaikan di masa mendatang.
Menurut Bastaman (2007, hlm. 85-86) terdapat beberapa karakteristik
individu yang menghayati hidup bermakna, dicirikan dengan keberadaan individu
yang memiliki kehidupan: (1). Menunjukkan corak kehidupan yang penuh semangat
dan gairah hidup dan serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. (2). Memiliki tujuan hidup yang jelas. (3). Mampu melakukan tugas
dan pekerjaan sehari-hari dengan semangat dan bertanggung jawab. (4). Mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan. (5). Mampu menemukan aneka ragam
pengalaman baru dan hal-hal yang menarik, sehingga menambah kekayaan pengalaman
dalam hidup. (6). Menyadari adanya sebuah hikmah didalam penderitaan yang
dialami. (7). Mampu menentukan tujuan-tujuan pribadi dan menemukan makna hidup sebagai
sesuatu yang sangat berharga dan tinggi nilainya. (8). Berusaha memenuhi makna
hidup merupakan tantangan yang dilakukan secara bertanggung jawab. (9). Mampu
mencintai dan menerima cinta kasih orang lain.
.............................................................................................
Pembahasan
Hasil pengujian pada hipotesis mayor menunjukkan bahwa kematangan beragama
dan kepatuhan memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan kebermaknaan
hidup. Kemudian dapat dikatakan semakin
tinggi kematangan beragama dan derajat kepatuhan santri akan diikuti dengan
semakin tingginya kebermaknaan hidup mereka. Jalaluddin (2000, hlm. 109)
mengemukakan termasuk ciri-ciri orang yang matang agamanya dapat dilihat dari
kemampuannya untuk mengenali, memahami,
serta menghayati nilai-nilai agama dan menjadikannya sebagai nilai dalam
bersikap dan bertingkah laku. Menurut penulis ajaran agama (Islam) tentang
aqidah atau keimanan masuk dalam ranah ciri-ciri kematangan beragama yang
dituntut untuk dihayati dan selalu ditingkatkan.
Sejalan dengan pentingnya aqidah atau keimanan, Bukhori (2006, hlm. 102)
mengatakan bahwa seseorang yang keimanannya telah menguasainya, tidak akan
terganggu atau terpengaruh terhadap apapun yang terjadi (ujian/musibah dll).
Keyakinannya bahwa keimanan akan membawanya kepada ketentraman dan kelegaan
batin tertanam dalam sikap dan terpateri dalam kepribadiannya, ini didasarkan
atas keyakinannya akan adanya tempat mengeluh dan mengungkap segala rasa hati.
Selain nilai keimanan yang menjadi tuntutan untuk selalu terpelihara,
menurut penulis ciri-ciri kematangan beragama juga memperhatikan akan aplikasi
nilai-nilai luhur agama yang lain sehingga mampu mewarnai nilai-nilai bersikap
dan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini, dapat diartikan
sebagai bentuk dari nilai ibadah dan nilai muamalah (interaksi antar sesama).
Salah satu fokus penulis dalam penelitian ini adalah ketaatan santri.
Karakteristik dunia Pesantren yang kental adalah kesediaan dan keikhlasan
santri untuk taat menjalankan segala sesuatu yang menjadi perintah Kiai.
Menurut Faturochman (2004, hlm. 34-35) ketaatan santri merupakan manifestasi
atau implementasi dari nilai ibadah sehingga bersedia melakukan perintah Kiai
dengan sepenuh hati, dengan penuh harapan akan adanya keinginan untuk
memperoleh barokah dari Kiai. Dimana barokah adalah salah satu dari tiga kunci
utama dalam kehidupan Pesantren, Mastuhu (1994, hlm. 66) mengatakan bahwa
terdapat tiga kunci utama dalam kehidupan Pesantren yaitu: a) Berkah, b)
Ikhlas c) Ibadah.
Karakteristik lain yang menjadi tradisi kehidupan di Pesantren adalah
tradisi persaudaraan (ukhuwah) yang menjadi ruh, mendasari seluruh kegiatan
santri sehinnga memunculkan relasi kebersamaan yang kuat. Secara indigenous,
Pesantren lebih memperlihatkan jati dirinya sebagai lembaga gotong royong yang
merupakan ciri khas rakyat Indonesia. Mahmud (Bukhori, 2006, hlm. 103)
mengatakan bahwa tradisi yang demikian adalah bentuk dari muamalah yang juga
ditekankan selain aqidah dan ibadah, muamalah mencakup segala sesuatu yang
diupayakan oleh muslim, seperti akhlak individual, sikap kepada Allah, diri
sendiri dan yang lain.
Artinya, menurut hemat penulis, penghayatan dan pengamalan terhadap
nilai-nilai luhur agama merupakan faktor penting yang mampu mendatangkan
ketentraman dalam kehidupan manusia. Lebih khususnya dalam penelitian ini,
penghayatan terhadap nilai-nilai keagamaan yang menjadi bukti dari kematangan
agama seseorang dan kemudian tertanam pada nilai-nilai pengamalan tingkah laku
sehari-hari dapat menimbulkan ketenangan dalam menjalani kehiupan, ketenangan
dalam menghadapi segala sesuatu yang dialaminya. Implementasi dari pengamalan
nilai-nilai keagamaan seperti kepatuhan, saling mengasihi sesama yang tertanam
dalam diri santri mampu mempengaruhi derajat kebermaknaan hidup mereka.
Hipotesis minor yang pertama diketahui bahwa ada hubungan positif yang
signifikan antara kematangan beragama dengan kebermaknaan hidup, artinya
korelasi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kematangan beragama secara
proporsional akan diikuti dengan tingginya kebermaknaan hidup.
Jalaludin (2001, hlm. 204) mengatakan bahwa agama dalam kehidupan manusia
memiliki fungsi sebagai sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Norma-norma
tersebut secara umum menjadi acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar
sejalan dengan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti
khusus dalam diri individu dan cenderung dipertahankan.
Mac Guire (Jalaluddin, 2001, hlm. 204) menjelaskan bahwa sistem nilai
dianggap sebagai sesuatu yang dianggap bermakna bagi diri individu, sistem
nilai ini terbentuk dan berkembang melalui proses belajar dan sosialisasi.
Perangkat sistem nilai tersebut dipengaruhi oleh keluarga, teman, dan institusi
pendidikan serta masyarakat. Hasil dari proses belajar dan sosialisasi akan
meresap dalam diri individu, kemudian akan menyatu dalam membentuk identitas
seseorang, menjadi ciri khas yang akan terlihat dalam kehidupan sehari-hari,
bagaimana menentukan sikap, berpenampilan serta tujuan dalam berpartisipasi
pada setiap kegiatan. Menurut pandangan Mac Guire pembentuk sistem nilai dalam
diri individu ini adalah agama.
Jalauddin (2001, hlm. 243) mengatakan bahwa agama sebagai potensi fitrah
manusia yang dibawa sejak lahir, apabila dikembangkan sejalan dengan pengaruh
lingkungan, maka akan terjadi keselarasan. Sebaliknya, jika potensi fitrah ini
dipertentangkan oleh kondisi lingkungan, maka akan terjadi ketidak-seimbangan
pada diri seseorang.
Artinya, pengaruh agama yang dikembangkan melalui proses belajar dan
terpateri membentuk identitas individu, yang teraplikasikan pada perilaku
sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya, akan
memberikan pengaruh kepada kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung,
rasa sukses dan rasa puas.
Berdasarkan beberapa pendapat Mac
Guire dan Jalaluddin, menurut hemat penulis sistem nilai yang terbentuk melalui
agama dan selalu berkembang berdasarkan proses belajar dan sosialisasi memiliki
pengaruh besar pada setiap individu, karena sebagai realitas yang abstrak
dirasakan sebagai motivasi atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. Ini dapat
diartikan pula, potensi fitrah (agama) pada para santri pondok Pon-Pes
Futuhiyyah yang dikembangkan berdasarkan proses belajar, dan selaras dengan
lingkungan mampu mempengaruhi makna hidup mereka.
Hipotesis minor yang kedua diketahui ada hubungan positif yang sangat
signifikan antara kepatuhan dengan kebermaknaan hidup, Korelasi yang positif
ini menunjukkan bahwa semakin tingginya kepatuhan secara proporsional akan
diikuti dengan semakin tingginya kebermaknaan hidup.
Sears (1994, hlm. 319) mengatakan bahwa ketaatan terhadap
peraturan-peraturan atau norma sosial, dan kebudayaan yang berlaku akan membawa
kepada kehidupan yang cenderung lancar, mudah dan teratur.
Manusia merupakan makhluk yang rapuh
yang terikat pada jaring-jaring sosial yang membatasi ruang gerak perilakunya.
Milgram sebagai seorang psikolog sosial mengatakan bahwa sebagai makhuk sosial
manusia memiliki batasan-batasan dalam bergerak, diantaranya batasan-batasan
yang dimaksudkan adalah: norma (norm) sosial, peraturan mengenai cara
berperilaku, yang didukung oleh ancaman hukuman bila kita melanggar, dan
menjanjikan adanya penghargaan bila kita mengikuti aturan-aturan tersebut
(Wade, 2007, hlm. 285).
Artinya, menurut hemat penulis adanya peraturan ataupun norma sosial adalah
sebagai kontrol atas perilaku manusia dalam menjalankan kehidupan sehari, baik
kaitannya dengan diri sendiri, sesama, atau bahkan dengan tuhan sekalipun.
Semakin erat individu menjaga ketaatan dengan meningkatkan intensitas kontrol
diri mereka, secara proporsional akan diikuti dengan semakin tingginya
pencapaian individu pada keteraturan, ketentraman individu (batin), sesama dan
juga kesempurnaan dihadapan tuhan.
Sejalan dengan beberapa pendapat di atas, dalam ajaran agama islam dikenal
dengan konsep takwa. Menurut Najati (2005, hlm. 447) takwa adalah upaya manusia
dalam menjaga diri dari murka dan azab Allah dengan jalan menjauhi perbuatan
yang dilarang, dan berpegang pada manhaj Allah yang telah digariskan-Nya dalam
kitab suci, yang kemudian dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Konsep takwa dapat
diartikan pula sebagai kontrol dan pengendali atas berbagai motif dan emosi
manusia yang mampu membuahkan kematangan, kesempurnaan, dan keseimbangan
kepribadian. Sehingga individu mampu mencapai pada kesempurnaan insaniah, yang
tentunya dibarengi dengan hayah maknawiah (kehidupan yang bermakna).
Salah satu dari fokus penulis pada penelitian ini adalah kepatuhan santri
kepada Kiai yang merupakan manifestasi dari ibadah, tidak lepas dari konsep
takwa yang dipaparkan oleh Najati diatas. Kepatuhan santri kepada Kiai
khususnya, dan umumnya kepada norma dan budaya yang berlaku di Pesantren
menjadi kontrol bagi perilaku dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Artinya, semakin tinggi intensitas santri untuk taat terhadap Kiai serta
norma dan budaya yang berlaku di Pon-Pes akan mampu membawa santri pada
kehidupan yang penuh dengan ketentraman, dan penemuan makna hidup seutuhnya
karena santri mampu mengontrol dan mengendalikan berbagai motif dan emosinya
dalam menjalani kehidupannya.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan uji hipotesis pada ketiga hipotesis yang diajukan, diperoleh
hasil sebagai berikut: Ada hubungan yang sangat signifikan antara kematangan
beragama dan kepatuhan (obedience) dengan kebermaknaan hidup pada santri
Pon-Pes Futuhiyyah Mranggen Demak. Ada
hubungan positif yang signifikan antara
kematangan beragama dengan kebermaknaan hidup pada santri Pon-Pes Futuhiyyah
Mranggen Demak. Ada hubungan positif yang signifikan antara kepatuhan dengan
kebermaknaan hidup pada santri Pon-Pes Futuhiyyah Mranggen Demak.
Para santri diharapkan agar lebih memahami, dan menghayati, serta
mengaplikasikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam agama, lebih
meningkatkan nilai-nilai implementasi dari setiap pengetahuan keagamaan yang
dipelajarinya. Penghayatan terhadap kegiatan-kegiatan yang telah menjadi
rutinitas, seperti memaknai nilai-nilai pengalaman yang didapatkan dari
interaksi dengan orang lain, sehingga mampu menemukan kebenaran, keindahan
cinta dan kasih sayang sesama.
Bagi peneliti mendatang yang memiliki fokus terkait dengan penelitian ini
akan lebih menarik jika, penelitian dilakukan kepada para karyawan dan instanti
lain yang lebih bersifat umum, variabel penelitian lebih diperluas lagi, dengan
melibatkan variabel-variabel lain yang relevan dan belum menjadi fokus dalam
penelitian ini, guna memperdalam dan menyentuh aspek-aspek lain yang
berhubungan dengan penelitian ini, misalnya aspek budaya, sosial dan lain
sebagainya. penggunaan metode penelitian agar diperluas lagi menggunakan
metode-metode lainnya, seperti pengembangan metode analisis dengan menggunakan
metode selain yang metode analisis dalam penelitian ini, guna mendapatkan data
dan hasil yang lebih akurat.
0 comments:
Posting Komentar