Gondelan Sarunge Kyai

Kamis, November 02, 2017

Begitulah Santri,... Sungguh Unik dalam Mencari Kebermaknaan dalm Hidup


HUBUNGA ANTARA KEMATANGAN BERAGAMA DAN KEPATUHAN (OBEDIENCE) SANTRI PADA KIAI DENGAN KEBERMAKNAAN HIDUP SANTRI PONDOK PESANTREN FUTUHIYYAH MRANGGEN EMAK

Muh. Khoirunniam
Universitas Islam Sultan Agung

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk  mengetahui hubungan antara  kematangan beragama dan kepatuhan (obedience) dengan kebermaknaan hidup pada santri remaja di Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak. Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan antara kematangan beragama dan kepatuhan (obedience) dengan kebermaknaan hidup, ada hubungan positif antara kematangan beragama dengan kebermaknaan hidup dan ada hubungan positif antara kepatuhan (obedience) dengan kebermaknaan hidup.Subjek penelitian (N=45) adalah santri remaja minimal 2 tahun dipesantren, berdomisili di pesantren Futuhiyyah, yang diperoleh melalui purpossive sampling.
Hasil penelitian diperoleh antara kematangan beragama dan kepatuhan (obedience) dengan kebermaknaan menunjukkan nilai  R = 0,613 dan Fhitung  = 12,611 dengan p = 0,000 (p<0,01). Korelasi parsial antara variabel kematangan beragama dengan kebermaknaan hidup adalah ry1-2 = 0,294 dengan p = 0,026 (p<0,05) dan antara variabel kepatuhan dengan kebermaknaan hidup adalah ry2-1  = 0,459 dengan p = 0,001 (p<0,05).
Hasil ini menunjukkan adanya hubungan antara kematangan beragama dan kepatuhan (obedience) dengan kebermaknaan hidup, kematangan beragama memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kebermaknaan hidup dan kepatuhan (obedience) memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kebermaknaan hidup.

Kata kunci :Kematangan Beragama, Kepatuhan (obedience), Kebermaknaan Hidup, dan Santri Remaja

Pendahuluan
Kualitas insani, arti kehidupan (makna hidup) begitu diperhatikan di dalam agama Islam secara komprehensif, baik kulitas hidup objektif maupun subjektif. Termasuk contoh perhatian Islam terhadap kualitas hidup objektis adalah perintah Allah untuk beristirahat menjaga vitalitas sebagaimana termkatub dalam Surat Al-Mu’min:
“Allah-lah yang telah menjadikan malam untuk kalian supaya kalian beristirahat kepada-Nya, dan (menjadikan) siang terang benderang. Sesungguhnya Allah itu benar-benar pemmilik karunia atas manusia, tetapi kebanyakan orang tidak bersyukur” (QS. Almu’min: 61).
Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah:
”Dan sesungguhnya Kami akan memberi cobaan kepada kalian dengan sesuatu berupa kekuatan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira pada orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah: 155).
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Allah memerintahkan manusia untuk menjaga kualitas hidup objektif, dengan menjaga vitalitas tubuh, bekerja, berkarya dan sikap sabar terhadap cobaan untuk mencapai makna hidup.
Perhatian terhadap kualitas hidup subjektif juga diajarkan oleh Nabi dalam doanya, ”Wahai tuhan yang membolak-balikkan hati tetapkanlah hatiku atas agama-Mu. Ya-Allah ilhamkanlah petunujk kebenaranku, dan jauhkan aku dari kejahatan diriku” (Diponegoro, 2005, hlm. 107).
Berdasarkan beberapa kutipan di atas dapat dikatakan bahwa nilai ajaran Islam merupakan petunjuk untuk berperilaku positif, berbudi pekerti luhur, melalui kualitas kehidupan beragama yang dijalininya, serta dengan menjalankan nilai-nilai luhur agama.
Pada penelitian ini, dinamika kualitas hidup diuji pada subjek santri Pondok Pesantren. Pemlihan santri Pondok Pesantren sebagai subjek berdasarkan pada alasan bahwa santri merupakan bagian dari generasi muda yang sangat potensial mampu melakukan perubahan-perubahan sosial dalam kehidupan bermasyarakat (Hanurawan, 2005, hlm. 120), termasuk dalam peningkatan kualitas hidup (pemaknaan hidup).
Pesantren adalah fenomena sosiokultural yang menarik. Pada tataran historis, Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua khas Indonesia, yang eksistensinya telah teruji oleh sejarah dan berlangsung hingga kini. Selain dianngap sebagai lembaga Islam tradisional Pesantren merupakan suatu lembaga yang dianggap memiliki pola khas.
Sebagai lembaga keagaman Islam yang telah lama berkembang di Indonesia Pondok Pesantren merupakan aset penting bagi pengembangan sumber daya manusia yang mengacu pada konsep mausia Indonesia seutuhnya. Lembaga pendidikan Pesantren secara umum memiliki kedudukan yang cukup penting dalam sistem pendidikan nasional, apalagi jika mampu menerjemahkan dan menerapkan pemikiran “Al-muhafazhah ‘ala ‘al-qadim ash-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” (memelihara nilai-nilai budaya klasik yang baik, dan mengambil nilai-nilai budaya baru yang dianggap lebih bermanfaat) secara tepat dan benar.
Menurut Siraj (Hartono, 2004, hlm. 69)  saat ini, banyak orangtua perkotaan menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren, karena pendidikan umum telah menjadi bagian standar dari penyesuaian pesantren terhadap modernitas. Pesantren dianggap juga sebagai lembaga pendidikan yang relatif aman bagi anak-anak mereka yang berusia remaja dari pengaruh-pengaruh negative. Orangtua menyadari bahwa mendidik anak usia remaja sangat sulit karena pada dasarnya usia tersebut anak biasanya berani “melawan” orangtuanya, dan anak sangat mudah terkena pengaruh orang lain. Oleh karena itu, lembaga pendidikan yang tepat adalah lembaga yang dapat melindungi anak-anak mereka dari pengaruh-pengaruh negatif dan yang menawarkan penguasaan ilmu pengetahuan dan agama.
Berdasar pemikiran tentang posisi strategis Pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus da’wah yang mampu membawa perubahan-perubahan sosial, termasuk peningkatan kualitas hidup maka penulis memandang adanya arti penting terhadap upaya-upaya untuk mengungkap pemahaman tentang peningkatan kualitas pemaknaan hidup para santri.
Dalam konteks pengembangan kualitas hidup santri, pendidikan Pondok Pesantren secara normatif berbasis pada nilai-nilai ajaran Islam, mengajarkan kepada para santrinya untuk mengembangkan nilai-nilai luhur agama Islam melalui pemahaman, dan penghayatan serta peng-aplikasian nilai-nilai luhur agama Islam dalam menjalankan rutinitas kehidupan sehari-hari.
Pola pendidikan Pondok Pesantren memposisikan santri sebagai murid, abdi dan kawula. Menurut Zakiah (2004, hlm. 34) pola  ini dikenal dengan terminologi talmadzah yang menggambarkan dominasi aktivitas guru dan tuntutan santri untuk bersikap pasif. Menurut Syarifuddin hal tersebut didasarkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim, salah satu referensi kitab kuning yang sering dipakai dipesantren, karya Al-Zarnuji yang dinisbatkan kepada Sayyidina ’Ali: ”Aku adalah kawula orang yang pernah mengajarkan satu huruf kepadaku, apabila mau ia boleh menjualku, memerdekakanku, atau tetap memperbudakku” (Zakiah, 2004, hlm. 2004).
Salah satu karakteristik budaya pesantren adalah ketaatan santri pada Kiai dalam pola hubungan guru dan murid. Berdasarkan interview yang dilakukan dengan beberapa santri di Pesantren Futuhiyyah Mranggen, pada 30 agustus 2008, berkaitan dengan tujuan hidup mereka yang dijadikan sebagai arahan untuk beraktivitas, yang berhubungan dengan kepatuhan mereka terhadap Kiai, diketahui bahwa terdapat anggapan yang tidak jauh berbeda.
Santri berinisial LK menganggap Kiai sebagai figur yang patut diteladani dan dipatuhi. Kiai merupakan figur yang dianggap mampu memberikan arahan dan mampu mengetahui apa yang terbaik untuk mereka dengan kemampuan spiritual yang dimilikinya. Mereka merasa langkah hidupnya lebih mantap, berarti dan bahkan menyimpan makna tertesendiri dengan arahan yang diberikan oleh Kiai. Santri berinisial EHS lebih memilih kepentingan Kiai dan rela meninggalkan keinginan pribadinya, karena berkeyakinan bahwa apa yang ia lakukan akan memberikan berkah untuk kebahagiaan hidup yang dilakoni, serta menganggap Kiai sebagai sosok yang mampu mengilhami tujuan hidupnya.
 Selanjutnya berdasarkan interview lanjutan yang dilakukan pada tanggal 11 Januari 2010 dengan beberapa santri Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen tentang batasan kepatuhan santri kepada Kiai dan landasan kepatuhan santri diperoleh kesimpulan bahwa santri cenderung patuh terhadap semua perintah Kiai. Ketaatan mereka didasarkan atas beberapa pertimbangan diantaranya: tabiat santri kepada Kia (murid dengan guru), ta’dlim (penghormatan) terhadap ilmu, percaya akan adanya barokah (kebagusan), merupakan penghargaan atau penghormatan ketika diperintah oleh Kiai, adanya arti khusus ketika mampu dekat dan kenal dengan Kiai.
Menurut Faturochman (2004, hlm. 35) ketaatan santri dengan kiai pada budaya kehidupan santri nyaris sakral. Hubungan ini dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan: nilai ketaatan dalam rangka ibadah, nilai keikhlasan ajaran dalam kitab Ta’limul Muta’allim, dan persepsi santri terhadap Kiai.     
Berdasarkan suatu pemahaman bahwa santri yang tinggal dan belajar dipesantren banyak mempelajari nilai-nilai agama Islam tentang pendalaman, pemahaman, dan penghayatan serta pengaplikasian nilai-nilai luhur agama, maka dapat dikatakan bahwa sikap keberagamaan mereka cenderung matang. Kehidupan yang sangat intens di Pondok Pesantren, pada tingkatan tertentu membuat santri berusaha meniru sikap dan prilaku orang-orang yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap kehidupan mereka, dalam hal ini para Kiai atau para Nyai melalui proses belajar.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik dan ingin mengetahui seberapa besar peranan kematangan beragama yang dimiliki santri terhadap kebermaknaan hidup mereka, serta kepatuhan santri terhadap Kiai sebagai teladan dalam menentukan langkah kehidupan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang maknawi. Hal tersebut di atas menyebabkan penulis ingin mengetahui hubungan antara kematangan beragama dan kepatuhan (obedience) santri pada Kiai dengan kebermaknaan hidup santri di Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Demak.

Dasar teori
Kebermaknaan hidup
Anggriany (2006, hlm. 53) mengungkapkan bahwa kebermaknaan hidup sebagai penghayatan seseorang mengenai kualitas, tujuan, dan harapan dalam hidupnya agar dapat berarti bagi diri sendiri dan bersama. Menurut Bastaman (2007, hlm. 55) hidup yang bermakna adalah corak kehidupan yang serat dengan kegiatan, penghayatan, dan pengalaman-pengalaman bermakna, yang apabila hal itu terpenuhi akan menimbulkan perasaan-perasaan bahagia dalam kehidupan seseorang
Frankl (Anggriany, 2006, hlm. 53) mengungkapkan bahwa kebermaknaan hidup adalah keadaan yang menunjukkan sejauh mana seseorang telah mengalami dan menghayati kepentingan keberadaan hidup menurut sudut pandang dirinya sendiri. Bastaman (Soleh, 2001, hlm. 55) mengatakan bahwa orang yang menghayati hidupnya sebagai hidup yang bermakna menunjukkan kehidupan yang penuh gairah dan optimis, hidupnya terarah dan bertujuan, mampu beradaptasi, luwes dalam bergaul dengan tetap menjaga identitas diri, dan apabila dihadapkan pada suatu penderitaan akan dihadapinya dengan tabah dan menyadari akan adanya hikmah dibalik penderitaan.
Frankl (Koeswara, 1992, hlm. 61) menjelaskan bahwa untuk mencapai makna, individu harus menunjukkan tindakan komitmen yang muncul dari kedalaman dan pusat kepribadiannya, dan karenanya usahanya itu berakar pada keberadaan totalnya. Makna hidup ini bermula dari adanya visi kehidupan, harapan dalam hidup, dan adanya alasan kenapa seseorang harus terus hidup, dengan adanya visi kehidupan dan harapan hidup itu seseorang akan tangguh dalam menghadapi kesulitan hidup sebesar apapun. Kebermaknaan ini adalah kekuatan hidup manusia, yang selalu mendorong seseorang untuk memiliki sebuah komitmen kehidupan.
Berdasarkan hasil temuan yang dilakukan Bastaman (Anggriany, 2006, hlm. 55), komponen kebermaknaan hidup dapat dikategorikan dalam empat dimensi yang memiliki unsur-unsur tertentu, yaitu: (1). Dimensin personal yaitu pemahaman diri dan pengubahan sikap. (2). Dimensi sosial: mencakup dukungan sosial, faktor pemicu kesadaran diri dan model ideal pengarahan diri (3). Spiritual: menjadikan keimanan sebagai dasar dari kehidupan beragama, dan (4). Dimensi nilai-nilai: merupakan pencarian makna hidup secara kontemplatif, penemuan makna hidup, keterikatan diri terhadap makna hidup, kegiatan terarah pada tujuan, tantangan dan keberhasilan memenuhi makna hidup.
Menurut Frankl (Bastaman dalam Anggriany, 2006, hlm. 54) terdapat tiga komponen kebermaknaan hidup, dimana filosofi satu dengan lainnya saling mempengaruhi dan meiliki hubungan erat. Ketiga komponen itu adalah: (1). Kebebasan berkehendak (freedom of will), adalah kebebasan yang dimiliki seseorang untuk menentukan sikap dalam hidupnya, menentukan apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya. Kebebasan yang diimbangi sikap tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan. Bastaman (2007, hlm. 41) menyebutnya sebagai kebebasan untuk menentukan sikap (freedom to take stand) terhadap kondisi-kondisi tersebut, baik kondisi lingkungan ataupun kondisi diri sendiri. Bukan kebebasan dari (freedom from) kondisi-kondisi biologis, psikologis, dan sosiokultural. (2). Kehendak hidup bermakna (will to meaning), merupakan hasrat yang memotivasi seseorang untuk bekerja, berkarya dan melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya dengan tujuan agar hidupnya berharga dan dihayati secara bermakna. Bastaman (2007, hlm. 43) hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama pada manusia, dan bukan merupakan suatu yang khayali serta diada-adakan, melainkan benar-benar suatu fenomena kejiwaan yang nyata dan dirasakan  pentingnya dalam kehidupan seseorang. (3). Makna hidup (meaning of life), adalah suatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberi nilai khusus bagi seseorang. Bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan demikian berarti dan berharga.
 Bastaman (2007, hlm. 47-49) mengungkapkan bahwa dalam kehidupan seseorang terdapat tiga bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup di dalamnya apabila nilai-nilai itu diterapkan dan dipenuhi. Ketiga nilai tersebut adalah: (1). Creative values (nilai-nilai kreatif): nilai-nilai kreatif adalah, bagaimana seseorang mampu memberikan sesuatu yang berharga dan berguna bagi kehidupan, melalui sikap dan komitmen yang sesungguhnya. (2). Experiential values (nilai-nilai penghayatan): merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan, serta cinta kasih. Anggriany (2006, hlm. 55) menjelaskan bahwa nilai-nilai penghayatan merupakan apa yang diterima oleh individu dari kehidupan melalui interaksinya dengan manusia dan alam. Nilai ini didapat dari interaksi dan komitmen untuk berhubungan baik dengan orang lain dan lingkungan sosial. (3). Attitudinal values (nilai-nilai bersikap): merupakan sikap individu menunjukkan keberanian dan kemuliaan menghadapi penderitaan, nilai-nilai ini berupa menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin terelakkan lagi. Sikap menerima dengan penuh ikhlas dan tabah hal-hal tragis tersebut dapat mengubah pandangan kita dari yang semula diwarnai penderitaan semata-mata menjadi pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan itu, sehingga mampu membantu proses kematangan dan memberi sumbangan bagi kebaikan di masa mendatang.
Menurut Bastaman (2007, hlm. 85-86) terdapat beberapa karakteristik individu yang menghayati hidup bermakna, dicirikan dengan keberadaan individu yang memiliki kehidupan: (1). Menunjukkan corak kehidupan yang penuh semangat dan gairah hidup dan serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-hari. (2). Memiliki tujuan hidup yang jelas. (3). Mampu melakukan tugas dan pekerjaan sehari-hari dengan semangat dan bertanggung jawab. (4). Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. (5). Mampu menemukan aneka ragam pengalaman baru dan hal-hal yang menarik, sehingga menambah kekayaan pengalaman dalam hidup. (6). Menyadari adanya sebuah hikmah didalam penderitaan yang dialami. (7). Mampu menentukan tujuan-tujuan pribadi dan menemukan makna hidup sebagai sesuatu yang sangat berharga dan tinggi nilainya. (8). Berusaha memenuhi makna hidup merupakan tantangan yang dilakukan secara bertanggung jawab. (9). Mampu mencintai dan menerima cinta kasih orang lain.
  .............................................................................................

Pembahasan
Hasil pengujian pada hipotesis mayor menunjukkan bahwa kematangan beragama dan kepatuhan memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan kebermaknaan hidup.  Kemudian dapat dikatakan semakin tinggi kematangan beragama dan derajat kepatuhan santri akan diikuti dengan semakin tingginya kebermaknaan hidup mereka. Jalaluddin (2000, hlm. 109) mengemukakan termasuk ciri-ciri orang yang matang agamanya dapat dilihat dari kemampuannya  untuk mengenali, memahami, serta menghayati nilai-nilai agama dan menjadikannya sebagai nilai dalam bersikap dan bertingkah laku. Menurut penulis ajaran agama (Islam) tentang aqidah atau keimanan masuk dalam ranah ciri-ciri kematangan beragama yang dituntut untuk dihayati dan selalu ditingkatkan.
Sejalan dengan pentingnya aqidah atau keimanan, Bukhori (2006, hlm. 102) mengatakan bahwa seseorang yang keimanannya telah menguasainya, tidak akan terganggu atau terpengaruh terhadap apapun yang terjadi (ujian/musibah dll). Keyakinannya bahwa keimanan akan membawanya kepada ketentraman dan kelegaan batin tertanam dalam sikap dan terpateri dalam kepribadiannya, ini didasarkan atas keyakinannya akan adanya tempat mengeluh dan mengungkap segala rasa hati.
Selain nilai keimanan yang menjadi tuntutan untuk selalu terpelihara, menurut penulis ciri-ciri kematangan beragama juga memperhatikan akan aplikasi nilai-nilai luhur agama yang lain sehingga mampu mewarnai nilai-nilai bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini, dapat diartikan sebagai bentuk dari nilai ibadah dan nilai muamalah (interaksi antar sesama). Salah satu fokus penulis dalam penelitian ini adalah ketaatan santri.
Karakteristik dunia Pesantren yang kental adalah kesediaan dan keikhlasan santri untuk taat menjalankan segala sesuatu yang menjadi perintah Kiai. Menurut Faturochman (2004, hlm. 34-35) ketaatan santri merupakan manifestasi atau implementasi dari nilai ibadah sehingga bersedia melakukan perintah Kiai dengan sepenuh hati, dengan penuh harapan akan adanya keinginan untuk memperoleh barokah dari Kiai. Dimana barokah adalah salah satu dari tiga kunci utama dalam kehidupan Pesantren, Mastuhu (1994, hlm. 66) mengatakan bahwa terdapat tiga kunci utama dalam kehidupan Pesantren yaitu: a) Berkah, b) Ikhlas c) Ibadah.
Karakteristik lain yang menjadi tradisi kehidupan di Pesantren adalah tradisi persaudaraan (ukhuwah) yang menjadi ruh, mendasari seluruh kegiatan santri sehinnga memunculkan relasi kebersamaan yang kuat. Secara indigenous, Pesantren lebih memperlihatkan jati dirinya sebagai lembaga gotong royong yang merupakan ciri khas rakyat Indonesia. Mahmud (Bukhori, 2006, hlm. 103) mengatakan bahwa tradisi yang demikian adalah bentuk dari muamalah yang juga ditekankan selain aqidah dan ibadah, muamalah mencakup segala sesuatu yang diupayakan oleh muslim, seperti akhlak individual, sikap kepada Allah, diri sendiri dan yang lain.
Artinya, menurut hemat penulis, penghayatan dan pengamalan terhadap nilai-nilai luhur agama merupakan faktor penting yang mampu mendatangkan ketentraman dalam kehidupan manusia. Lebih khususnya dalam penelitian ini, penghayatan terhadap nilai-nilai keagamaan yang menjadi bukti dari kematangan agama seseorang dan kemudian tertanam pada nilai-nilai pengamalan tingkah laku sehari-hari dapat menimbulkan ketenangan dalam menjalani kehiupan, ketenangan dalam menghadapi segala sesuatu yang dialaminya. Implementasi dari pengamalan nilai-nilai keagamaan seperti kepatuhan, saling mengasihi sesama yang tertanam dalam diri santri mampu mempengaruhi derajat kebermaknaan hidup mereka.   
Hipotesis minor yang pertama diketahui bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kematangan beragama dengan kebermaknaan hidup, artinya korelasi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kematangan beragama secara proporsional akan diikuti dengan tingginya kebermaknaan hidup.
Jalaludin (2001, hlm. 204) mengatakan bahwa agama dalam kehidupan manusia memiliki fungsi sebagai sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Norma-norma tersebut secara umum menjadi acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti khusus dalam diri individu dan cenderung dipertahankan.
Mac Guire (Jalaluddin, 2001, hlm. 204) menjelaskan bahwa sistem nilai dianggap sebagai sesuatu yang dianggap bermakna bagi diri individu, sistem nilai ini terbentuk dan berkembang melalui proses belajar dan sosialisasi. Perangkat sistem nilai tersebut dipengaruhi oleh keluarga, teman, dan institusi pendidikan serta masyarakat. Hasil dari proses belajar dan sosialisasi akan meresap dalam diri individu, kemudian akan menyatu dalam membentuk identitas seseorang, menjadi ciri khas yang akan terlihat dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana menentukan sikap, berpenampilan serta tujuan dalam berpartisipasi pada setiap kegiatan. Menurut pandangan Mac Guire pembentuk sistem nilai dalam diri individu ini adalah agama.
Jalauddin (2001, hlm. 243) mengatakan bahwa agama sebagai potensi fitrah manusia yang dibawa sejak lahir, apabila dikembangkan sejalan dengan pengaruh lingkungan, maka akan terjadi keselarasan. Sebaliknya, jika potensi fitrah ini dipertentangkan oleh kondisi lingkungan, maka akan terjadi ketidak-seimbangan pada diri seseorang. 
Artinya, pengaruh agama yang dikembangkan melalui proses belajar dan terpateri membentuk identitas individu, yang teraplikasikan pada perilaku sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya, akan memberikan pengaruh kepada kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas.
 Berdasarkan beberapa pendapat Mac Guire dan Jalaluddin, menurut hemat penulis sistem nilai yang terbentuk melalui agama dan selalu berkembang berdasarkan proses belajar dan sosialisasi memiliki pengaruh besar pada setiap individu, karena sebagai realitas yang abstrak dirasakan sebagai motivasi atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. Ini dapat diartikan pula, potensi fitrah (agama) pada para santri pondok Pon-Pes Futuhiyyah yang dikembangkan berdasarkan proses belajar, dan selaras dengan lingkungan mampu mempengaruhi makna hidup mereka.
Hipotesis minor yang kedua diketahui ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kepatuhan dengan kebermaknaan hidup, Korelasi yang positif ini menunjukkan bahwa semakin tingginya kepatuhan secara proporsional akan diikuti dengan semakin tingginya kebermaknaan hidup.
Sears (1994, hlm. 319) mengatakan bahwa ketaatan terhadap peraturan-peraturan atau norma sosial, dan kebudayaan yang berlaku akan membawa kepada kehidupan yang cenderung lancar, mudah dan teratur.
 Manusia merupakan makhluk yang rapuh yang terikat pada jaring-jaring sosial yang membatasi ruang gerak perilakunya. Milgram sebagai seorang psikolog sosial mengatakan bahwa sebagai makhuk sosial manusia memiliki batasan-batasan dalam bergerak, diantaranya batasan-batasan yang dimaksudkan adalah: norma (norm) sosial, peraturan mengenai cara berperilaku, yang didukung oleh ancaman hukuman bila kita melanggar, dan menjanjikan adanya penghargaan bila kita mengikuti aturan-aturan tersebut (Wade, 2007, hlm. 285).
Artinya, menurut hemat penulis adanya peraturan ataupun norma sosial adalah sebagai kontrol atas perilaku manusia dalam menjalankan kehidupan sehari, baik kaitannya dengan diri sendiri, sesama, atau bahkan dengan tuhan sekalipun. Semakin erat individu menjaga ketaatan dengan meningkatkan intensitas kontrol diri mereka, secara proporsional akan diikuti dengan semakin tingginya pencapaian individu pada keteraturan, ketentraman individu (batin), sesama dan juga  kesempurnaan dihadapan tuhan.
Sejalan dengan beberapa pendapat di atas, dalam ajaran agama islam dikenal dengan konsep takwa. Menurut Najati (2005, hlm. 447) takwa adalah upaya manusia dalam menjaga diri dari murka dan azab Allah dengan jalan menjauhi perbuatan yang dilarang, dan berpegang pada manhaj Allah yang telah digariskan-Nya dalam kitab suci, yang kemudian dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Konsep takwa dapat diartikan pula sebagai kontrol dan pengendali atas berbagai motif dan emosi manusia yang mampu membuahkan kematangan, kesempurnaan, dan keseimbangan kepribadian. Sehingga individu mampu mencapai pada kesempurnaan insaniah, yang tentunya dibarengi dengan hayah maknawiah (kehidupan yang bermakna).
Salah satu dari fokus penulis pada penelitian ini adalah kepatuhan santri kepada Kiai yang merupakan manifestasi dari ibadah, tidak lepas dari konsep takwa yang dipaparkan oleh Najati diatas. Kepatuhan santri kepada Kiai khususnya, dan umumnya kepada norma dan budaya yang berlaku di Pesantren menjadi kontrol bagi perilaku dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Artinya, semakin tinggi intensitas santri untuk taat terhadap Kiai serta norma dan budaya yang berlaku di Pon-Pes akan mampu membawa santri pada kehidupan yang penuh dengan ketentraman, dan penemuan makna hidup seutuhnya karena santri mampu mengontrol dan mengendalikan berbagai motif dan emosinya dalam menjalani kehidupannya.

Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan uji hipotesis pada ketiga hipotesis yang diajukan, diperoleh hasil sebagai berikut: Ada hubungan yang sangat signifikan antara kematangan beragama dan kepatuhan (obedience) dengan kebermaknaan hidup pada santri Pon-Pes Futuhiyyah  Mranggen Demak. Ada hubungan positif  yang signifikan antara kematangan beragama dengan kebermaknaan hidup pada santri Pon-Pes Futuhiyyah Mranggen Demak. Ada hubungan positif yang signifikan antara kepatuhan dengan kebermaknaan hidup pada santri Pon-Pes Futuhiyyah  Mranggen Demak.
Para santri diharapkan agar lebih memahami, dan menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam agama, lebih meningkatkan nilai-nilai implementasi dari setiap pengetahuan keagamaan yang dipelajarinya. Penghayatan terhadap kegiatan-kegiatan yang telah menjadi rutinitas, seperti memaknai nilai-nilai pengalaman yang didapatkan dari interaksi dengan orang lain, sehingga mampu menemukan kebenaran, keindahan cinta dan kasih sayang sesama.
Bagi peneliti mendatang yang memiliki fokus terkait dengan penelitian ini akan lebih menarik jika, penelitian dilakukan kepada para karyawan dan instanti lain yang lebih bersifat umum, variabel penelitian lebih diperluas lagi, dengan melibatkan variabel-variabel lain yang relevan dan belum menjadi fokus dalam penelitian ini, guna memperdalam dan menyentuh aspek-aspek lain yang berhubungan dengan penelitian ini, misalnya aspek budaya, sosial dan lain sebagainya. penggunaan metode penelitian agar diperluas lagi menggunakan metode-metode lainnya, seperti pengembangan metode analisis dengan menggunakan metode selain yang metode analisis dalam penelitian ini, guna mendapatkan data dan hasil yang lebih akurat. 
Share:

0 comments:

Posting Komentar

Subscribe Yuk . . .

Follower's

https://cangkiralit.blogspot.co.id/